aksi 1000 sendal untuk AAL |
JAKARTA,
ReALITA Online — Jauh
sebelum kasus "sandal jepit" merebak, penyanyi kondang Iwan Fals
sudah teriak-teriak soal sandal jepit dalam syair lagunya "Besar dan
Kecil". Iwan menganalogikan rakyat kecil seperti jendal jepit yang selalu
terjepit, diremehkan, lemah, selalu kalah. Seperti sandal jepit, begitulah
kenyataan masyarakat kecil jika harus berurusan dengan hukum.
Tidak perlu
menutup mata karena kenyataan itu ada di depan mata kita. Aparat negeri ini
terkesan lebih suka menjepit rakyat kecil yang sudah biasa menjerit karena
ketidakadilan di negeri ini. Mereka terkesan lebih senang membela pejabat
dengan kekayaan berlipat, dibandingkan rakyat kecil yang biasa hidup melarat.
Mau bukti?
Tengoklah kasus Nenek Minah (55) asal Banyumas yang divonis 1,5 tahun pada
2009, hanya karena mencuri tiga buah Kakao yang harganya tidak lebih dari Rp
10.000. Bahkan, untuk datang ke sidang kasusnya ini Nenek yang sudah renta dan
buta huruf itu harus meminjam uang Rp 30.000 untuk biaya transportasi dari rumah
ke pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh.
Yang paling
anyar, kasus pencurian sandal jepit yang menjadikan AAL (15) pelajar SMK 3,
Palu, Sulawesi Tengah, sebagai pesakitan di hadapan meja hijau. Ia dituduh
mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda
Sulteng. Hanya gara-gara sandal jepit butut AAL terancam hukuman kurungan
maksimal lima tahun penjara.
Proses hukum
atas AAL pun tampak
janggal. Ia didakwa mencuri sandal merek Eiger nomor 43. Namun,
bukti yang diajukan adalah sandal merek Ando nomor 9,5. Selama persidangan tak
ada satu saksi pun yang melihat langsung apakah sandal merek Ando itu memang
diambil AAL di depan kamar Rusdi.
Di
persidangan, Rusdi yakin sandal yang diajukan sebagai barang bukti itu adalah
miliknya karena, katanya, ia memiliki kontak batin dengan sandal itu. Saat
hakim meminta mencoba, tampak jelas sandal Ando itu kekecilan untuk kaki Rusdi
yang besar.
AAL memang
dibebaskan dari hukuman dan dikembalikan kepada orangtuanya. Namun, majelis
hakim memutus AAL bersalah karena mencuri barang milik orang lain.
Mati
Sosiolog dari
Universitas Indonesia Imam Prasodjo kepada Kompas.com, Kamis (5/1/2012)
di Jakarta mengatakan, hukuman yang diberikan kepada Nenek Minah dan AAL itu
menggambarkan bahwa proses hukum yang mati dari tujuan hukum itu sendiri.
Hukum, kata dia, hanya mengikuti aturan formal, tidak memperhitungkan subtansi
dan hati nurani.
"Ancaman
lima tahun dan vonis 1,5 tahun itu, bukan masalah Jaksa, Polisi, atau Hakim
saja. Tapi mereka semua telah melakukan kesesatan kolektif. Meskipun banyak
protes dari masyarakat, mereka masih juga memproses dan memutuskan sesuatu
secara tidak sedikitpun ada kesadaran dan evaluasi," kata Imam.
Sosiolog
Soetandyo Wignjosoebroto pun mengatakan hal serupa. Hakim kini dinilainya
terlalu legalistik terhadap putusan bersalah rakyat kecil. Hakim tidak mampu
memahami arti dan makna sekaligus kearifan yang terkandung dalam aturan hukum.
"Undang-undang
itu dead letter law (hukum yang mati). Hukum menjadi aktif dan dinamik
melalui kata hati dan tafsir hakim. Kalau putusannya itu aneh, itu bukan salah
undang-undang, melainkan hakim. Hakimnya harus pandai memberi putusan yang bisa
diterima," kata Soetandyo.
Meskipun,
seyogyanya mencuri atau mengambil barang orang lain sekecil apa pun tanpa izin
adalah perbuatan melanggar hukum. Dan hukum harus ditegakkan. Namun, apakah hal
itu sudah sesuai rasa keadilan di masyarakat?
Lihat saja
bagaimana para pejabat dan koruptor berdasi putih mencuri uang rakyat yang
nilainya sebanding dengan jutaan sandal jepit dan kakao itu diperlakukan dengan
terhormat oleh aparat. Mereka dapat melanggeng bebas dari hukuman yang tidak
terlalu berat. Mereka pun dapat mangkir dari panggilan pengadilan dengan alasan
sakit yang kadang dibuat-buat.
Data
Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukan koruptor rata-rata hanya dihukum di bawah dua
tahun. Pada 2010, sebanyak 269 kasus atau 60,68 persen hanya
dijatuhi hukuman antara 1 dan 2 tahun. Sedangkan, 87 kasus divonis 3-5 tahun,
13 kasus atau 2,94 persen divonis 6-10 tahun. Adapun yang dihukum lebih dari 10
tahun hanya dua kasus atau 0,45 persen.
Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqqodas pada pertengahan November tahun
lalu, mengakui bahwa hukuman untuk koruptor memang rendah. Pengadilan, kata
Busyro, seakan-akan tak mencerminkan ideologi hukum yang baik. "Putusan
hakim kehilangan roh untuk berpihak pada kepentingan rakyat," kata Busyro.
Guru Besar
Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan kini hukum hanya tajam
jika kebawah dan tumpul jika berhadapan dengan kalangan atas. Pemerintah,
menurut Hikmahanto, seharusnya peka terhadap rasa ketidakadilan yang terus
dialami rakyat.
"Saya
prihatin. Hakim terlalu legalistik jika pihak yang lemah menjadi terdakwa.
Untuk kasus korupsi, hakim justru tak menggunakan kacamata kuda, tetapi
seolah-olah memahami tuduhan korupsi tak terbukti dengan melihat konteks,"
kata Himkmahanto di Jakarta, Kamis.
Keadilan
Restoratif
Ketua Umum
Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menyarankan agar aparat
penegak hukum menggunakan restorative justice (keadilan restoratif)
sebagai penyelesaian alternatif dalam sejumlah kasus kecil seperti yang menimpa
AAL maupun Nenek Minah.
Keadilan
restoratif adalah konsep pemidanaan yang mengedepankan pemulihan kerugian yang
dialami korban dan pelaku, dibanding menjatuhkan hukuman penjara bagi pelaku.
Hal itu dimaksudkan agar penyelesaian kasus-kasus kecil tak perlu sampai ke
pengadilan, tetapi diselesaikan cukup dengan mediasi. Peradilan anak telah
digagas pemerintah belandaskan azas ini.
Mantan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar yang turut memperjuangkan penerapan
keadilan restoratif mengaku kecewa dengan para penegak hukum yang tidak
menggunakan konsep tersebut. Ia menilai, Kementerian Hukum dan HAM pun
bertanggunjawab, karena sekarang lebih peduli pada pencitraan, sehingga
subtansi rasa keadilan masyarakat tidak tersentuh lagi.
"Sungguh
disesalkan, sekarang ini semua penegak hukum mulai lagi kembali ke ego sektoral
masing-masing," kata Patrialis.
Sejumlah
pandangan, fakta itu, memperlihatkan bahwa keadilan hukum di negeri ini hanya
sebatas keadilan sendal jepit, keadilan yang menjepit rakyat kecil. Sungguh
ironi, di negeri yang dalam butir-butir dasar negaranya disebut menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan perilaku berkeadilan ini, rakyatnya
diperlakukan dalam perbedaan kasta besar dan kecil. Penegakan hukum di negeri
ini masih sangat diskriminatif. Keras dan tegas untuk rakyat kecil, tapi loyo
dan bagai agar-agar bagi kalangan atas.
Mari berdendang bersama Iwan Fals...
Mari berdendang bersama Iwan Fals...
Mengapa besar selalu menang.
Bebas berbuat sewenang-wenang.
Mengapa kecil selalu tersingkir.
Harus mengalah dan menyingkir.
Apa bedanya besar dan kecil?
Bebas berbuat sewenang-wenang.
Mengapa kecil selalu tersingkir.
Harus mengalah dan menyingkir.
Apa bedanya besar dan kecil?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar