sidang kasus sandal jepil, AAL |
JAKARTA,
ReALITA Online — Putusan
bersalah yang dijatuhkan kepada AAL karena dituduh mencuri sandal milik seorang
anggota polisi semakin menunjukkan, hukum hanya keras terhadap orang lemah.
Hukum tak berdaya pada orang yang dekat dengan kekuasaan. Rasa keadilan hampir
mati.
Demikian
kesimpulan yang bisa ditarik dari percakapan Kompas dengan Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, M Zaidun; Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara, Jakarta, Mudji Sutrisno, SJ; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Indonesia Indriyanto Seno Adji dan Hikmahanto Juwana; sosiolog Soetandyo
Wignjosoebroto; Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Erna
Ratnaningsih; Febri Diansyah dari Indonesia Corruption Watch; serta Direktur
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Jakarta Ali Munhanif, Kamis (5/1), secara
terpisah.
Mereka
menanggapi putusan hakim tunggal Rommel F Tampubolon dalam sidang di Pengadilan
Negeri (PN) Palu, Sulawesi Tengah, yang menilai AAL bersalah dan menyerahkan
pembinaannya kepada orangtua. AAL dituduh mencuri sandal jepit merek Eiger
nomor 43 milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng. Namun,
di persidangan, yang dijadikan alat bukti adalah sandal merek Ando nomor 9,5.
Putusan hakim juga tak menyebutkan sandal itu milik Ahmad (Kompas, 5/1).
Putusan dari
hakim Rommel mungkin tak bermasalah secara legal. Namun, mengingat perlakuan
dan vonis yang rendah pada pelaku korupsi, menurut Zaidun, putusan itu tidak
memenuhi rasa keadilan rakyat. ”Sanksi pada kasus kenakalan anak adalah
pembinaan oleh orangtuanya. Namun, prosesnya tidak bagus. AAL diperlakukan
seperti terdakwa dewasa dan tidak ada pendekatan manusiawi,” tuturnya.
Mudji Sutrisno
dan Ali Munhanif, secara terpisah, mengakui, hukum di negeri ini cenderung
memihak penguasa dan pemilik modal. Elite dapat berkelit dari hukum dengan
kekuasaan dan uang. Rakyat kecil sulit untuk memperoleh keadilan dan kerap
menjadi korban. Kasus AAL bukanlah yang pertama di negeri ini yang
menggambarkan ”matinya” rasa keadilan.
Ditambahkan
Febri, hukum di Indonesia timpang. Buktinya, banyak terdakwa korupsi divonis
rendah, bahkan bebas. Namun, AAL dan sejumlah orang kecil lain yang ”terpaksa”
melakukan pelanggaran justru dihukum.
Menurut
Hikmahanto, tak hanya perangkat hukum, aparat penegak hukum dan pemerintah juga
belum berpihak terhadap rakyat. Mereka juga tak membantu rakyat kecil untuk
mendapatkan keadilan ketika berhadapan dengan hukum. Hukum hanya tajam jika ke
bawah dan tumpul jika berhadapan dengan kalangan atas.
”Saya
prihatin. Hakim terlalu legalistik jika pihak yang lemah menjadi terdakwa.
Untuk kasus korupsi, hakim justru tak menggunakan kacamata kuda, tetapi
seolah-olah memahami tuduhan korupsi tak terbukti dengan melihat konteks,” ujar
Hikmahanto di Jakarta, Kamis. Keadilan pun tidak diperoleh rakyat kecil.
Erna pun
mengakui, sampai kini penegakan hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke
atas. Berkaca dari vonis bersalah terhadap AAL dan bebasnya puluhan terdakwa
korupsi, rakyat seperti mendapatkan gambaran bahwa pemerintah tidak pernah
memberikan keadilan kepada mereka.
Menurut
Hikmahanto, ketidakadilan yang terus-menerus dirasakan rakyat bisa membuat
mereka tak tahan dan berontak. Seharusnya pemerintah peka terhadap rasa
ketidakadilan yang terus dialami rakyat.
Muji mengakui,
hukum di Indonesia saat ini justru menjadi sumber dari ketidakdilan. Itu
terjadi karena hampir semua perangkat hukum memihak pada kekuasaan dan modal,
bukan memihak pada kebenaran dan keadilan. Keadilan ditentukan oleh permainan
kepentingan, kekuasaan, jabatan, dan uang.
”Kondisi ini
berbahaya karena yang berlaku dalam kehidupan kita akhirnya seperti hukum
rimba. Siapa kuat, dia yang menang. Masyarakat alami krisis dan hukum akan dilecehkan,”
katanya.
Bagi Ali,
hukum yang memanjakan penguasa dan menekan rakyat akibat dominannya politik
dalam menyelesaikan problem bangsa. Banyak persoalan bangsa, termasuk kasus
hukum, diselesaikan melalui negosiasi politik dengan mengandalkan legitimasi
politik.
Terlalu
legalistik
Menurut
Soetandyo, putusan bersalah yang dijatuhkan kepada AAL karena hakim terlalu
legalistik. Hakim tidak mampu memahami arti dan makna sekaligus kearifan yang
terkandung dalam aturan hukum.
”Undang-undang
itu dead letter law (hukum yang mati). Hukum menjadi aktif dan dinamik melalui
kata hati dan tafsir hakim. Kalau putusannya aneh, itu bukan salah UU,
melainkan hakimnya. Hakim harus pandai memberi putusan yang bisa diterima,”
ujarnya, Kamis.
Hakim bukan
komputer yang mengaplikasikan ketentuan tanpa melihat substansi hukum sendiri,
yaitu rasa keadilan. Misalnya, aturan mengatur mencuri adalah sebuah tindak
pidana. Pelaku tindak pidana harus dihukum. Ketika seseorang didapati mencuri
sandal jepit, ia harus dihukum. Hal itu tak benar. Hakim, kata Soetandyo,
seharusnya mempertimbangkan hal lain, seperti siapa pelaku pencurian itu.
Hukum, menurut
dia, terasa tajam untuk rakyat kecil karena masyarakat tidak dilindungi oleh
organisasi atau struktur. Kekuatan politik masyarakat rendah. Lain dengan
pelaku korupsi yang justru dilindungi organisasi atau struktur pemerintahan.
Indriyanto
mengutarakan, hakim sebenarnya bisa membebaskan AAL meski terbukti mencuri.
Sifat perbuatan melawan hukum dalam suatu tindak pidana bisa dihilangkan dengan
cara melihat besarnya kerugian atau dampaknya terhadap masyarakat yang luas.
Untuk kasus kecil, seperti pencurian sandal jepit, pisang, dan kakao,
pendekatan seperti itu yang juga disebut pendekatan keadilan restoratif
(restorative justice). Pendekatan itu juga bisa digunakan pada tingkat
penyidikan.
Ketua Muda
Pidana Khusus Mahkamah Agung (MA) Djoko Sarwoko mengungkapkan, hakim masih
sulit menerapkan pendekatan restoratif dalam menangani perkara. Keadilan
restoratif sebenarnya masih merupakan wacana dan hingga kini belum dicantumkan
dalam UU.
Djoko pun
mengakui, MA melakukan uji coba penerapan keadilan restoratif di sejumlah
pengadilan. Terkait kasus sandal jepit, ia berpendapat, seharusnya tak perlu
sampai ke pengadilan.
Di Serang,
Kamis, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin mengakui sedang
memikirkan payung hukum untuk menghindarkan proses penanganan yang berlebihan
terhadap tindak pidana yang melibatkan rakyat kecil dan menyangkut kasus kecil.
Dari Cilacap,
Jawa Tengah, dilaporkan, dua pemuda yang diduga mengalami keterbelakangan
mental kini terancam dihukum karena disangka mencuri sembilan tandan pisang.
Kendati ada perdamaian dengan pemilik pisang, polisi tetap memproses hukum dan
menahan keduanya, tanpa didampingi penasihat hukum. kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar