BEKASI, ReALITA Online — Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (WALHI) memberikan catatan khusus atas pemberian penghargaan Piala
Adipura 2012 yang diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara,
Selasa (5/6) lalu. Selama ini penghargaan dari Kementrian Lingkungan Hidup
kepada sejumlah daerah yang menjadi terbersih dan terkotor tersebut dinilai
masih bersifat seremoni dan cenderung menghambur-hamburkan uang. Bahkan,
diduga ada permainan di balik penilaian Adipura.
Direktur
Eksekutif Nasional WALHI Abetnego Tarigan mengatakan selama ini Piala Adipura
tidak memiliki kriteria yang jelas. Karena sejak dulu hanya soal kebersihan dan
sampah. ”Seharusnya tidak hanya soal kebersihan. Karena di mana-manapun banyak
sampah yang tidak dikelola dengan baik. Tapi seharusnya integral dengan aspek
lingkungan lain yang bisa dirasakan masyarakat. Bukti konkretnya, hingga kini
masyarakat di daerah yang meraih Piala Adipura pun banyak yang mengkonsumsi air
kemasan daripada air tanah yang bersih,” ulas Abetnego.
Penghargaan
Adipura, lanjut Abetnego, juga tidak memiliki reward and punishment, serta
empowerment, baik bagi yang berpredikat terbersih maupun terkotor. ”Padahal
jelas, penghargaan ini diberikan oleh negara melalui pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Sehingga harus ada reward and punishment, maupun
empowerment. Tapi faktanya, penghargaan yang diberikan layaknya penghargaan
swasta yang tidak ada efeknya. Sehingga jangan kaget jika penghargaan ini
sering dimanfaatkan sebagai komoditas politik,” ungkap Abetnego.
Dan
yang menarik, penghargaan Adipura yang diberikan kepada Kota Bekasi. Seperti
diketahui, pada 2010, ketika Pemkot Bekasi masih dipimpin Mochtar Mohammad
(MM), kota patriot tersebut meraih Piala Adipura sebagai Kota Terbersih. Tapi
dua tahun kemudian, 2012, Kota Bekasi mendapat penghargaan sebagai Kota
Metropolitan Terkotor se-Indonesia.
enghargaan
terkotor itu setelah Walikota Bekasi dijabat oleh Rahmat Effendi menggantikan
MM yang terjerat kasus korupsi, salah satunya dugaan suap Piala Adipura 2010
sebesar Rp 400 juta.
”Kalau
soal adanya permainan dalam pemberian penghargaan, sudah rahasia umum. Tidak
hanya saya, sebagian masyarakat pun pasti banyak yang tahu. Misalnya, saat tim
penilai turun ke lapangan, pasti akan ada entertaint. Sehingga, seolah-olah
semua bisa diatur. Apalagi dengan system sectoring, kemungkinan bisa diatur
juga besar. Kalau sudah begini, semakin banyak yang skeptis. Karena, semestinya
apapun bentuk penghargaan yang diberikan mampu mendorong perubahan,” papar
Abetnego.
Terpisah,
Kepala Dinas Kebersihan Kota Bekasi Junaedi mengatakan meski sempat terkejut
dengan penghargaan yang diberikan kepada kotanya karena tidak tahu apa yang
menjadi indikator penilaian dan titik pantau, namun dirinya berharap predikat
tersebut akan semakin mempererat sinergi antara eksekutif dan legislatif
terkait K3 di Kota Bekasi, yakni Kebersihan, Ketertiban dan Keindahan, yang
sudah dilakukan sejak lama setiap hari Sabtu, menjadi lebih baik lagi.
”Dengan
penilaian ini, ke depan pihak-pihak terkait harus lebih sungguh-sungguh menjalankan
sejumlah upaya untuk menghilangkan citra buruk tersebut. Mulai dari tingkat
bawah hingga atas harus melakukan action. Walaupun kita juga sadar seringkali
upaya-upaya tersebut terhambat oleh keterbatasan sarana, prasarana maupun
anggaran. Tapi yang perlu saya garisbawahi adalah Kementrian Lingkungan Hidup
tidak pernah mengatakan bahwa Kota Bekasi sebagai kota terkotor, tapi memiliki
nilai terendah,” ulas Junaedi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar