JAKARTA,
ReALITA Online —
Pegawai negeri dengan rekening gendut bukan monopoli Gayus Tambunan semata.
Banyak pegawai biasa yang juga memiliki "privileges" seperti
itu. Mella--bukan nama sebenarnya--adalah salah satu contohnya. Dia baru
berusia 24 tahun. Sebagai pegawai negeri sipil, golongannya juga golongan
pasaran, yakni III-A. Dia juga baru bekerja selama dua tahun di salah satu
lembaga pemerintah di Jakarta.
Menjelang
akhir tahun, bukan cuma kesibukannya yang bertambah, rekeningnya pun bertambah
tambun. Gara-garanya, ada berbagai program selama satu tahun yang harus dikebut
bulan ini. Akibatnya, jarak satu program dengan program lain sangat dekat, bahkan
bersamaan.
Pegawai bagian
keuangan ini kebagian tugas tambahan. Dia harus membuat surat
pertanggungjawaban keuangan senilai Rp 700 juta dalam hitungan hari. “Ini
permintaan atasan,” ujarnya kepada Tempo kemarin. Untuk memperlancar
penggunaan anggaran, Mella juga memiliki rekening pribadi pada salah satu bank
pemerintah, khusus untuk menampung uang negara. Kebetulan kantor bank tersebut
membuka cabang di kantornya. Pembuatan rekening atas nama dirinya, kata dia,
dilakukan atas perintah atasan. “Khusus tahun ini, diminta membuat rekening
untuk kelancaran serapan anggaran.”
Dia
mengungkapkan, atasannya, sebagai penanggung jawab pengelola uang muka, juga
memiliki rekening yang sama. Bosnya ini, kata Mella, mengatur lalu lintas
anggaran belanja penelitian sebesar Rp 8,5 miliar. Dari hasil penempatan dana
itu, bosnya menerima bunga sebesar 10 persen atau Rp 85 juta.
Hasil bunga
itu dikelola sang bos untuk mendanai kegiatan di luar program anggaran.
“Misalnya, sewa kendaraan dan pengemudi saat kunjungan ke daerah.”
Yang menarik,
kata Mella, tak semua bunga dipakai untuk kegiatan di luar program. Sebagian
dana dipakai untuk menyuap oknum pegawai Kantor Pelayanan Perbendaharaan V
Jakarta. “Agar anggaran cair tepat waktu.”
Kini
kondisinya berbeda setelah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) melansir rekening gendut sejumlah pegawai muda. Sejumlah pegawai,
termasuk atasannya, langsung menutup rekening pribadi. “Mereka ketakutan.”
Mella menilai
rekening pribadi atau biasa disebut rekening penampung sangat diperlukan karena
pengelolaan anggaran butuh tiga tahapan. Padahal setiap satuan kerja hanya
memiliki satu rekening resmi, yakni rekening bendahara.
Uang dari
bendahara ini dicairkan ke pengelola uang muka, yang kemudian membuat rekening
penampung. Dari sini, uang masih mengalir ke bagian administrasi, yang juga
membuat rekening yang sama. Menurut Mella, rekening ini dipakai agar lalu
lintas anggaran dari bendahara, pengelola uang muka, dan administrasi memiliki
bukti. “Kalau tunai, rawan direkayasa.”
Wakil Ketua
PPATK Agus Santoso, sebelumnya, menyatakan banyak pegawai negeri sipil muda
memiliki rekening pribadi dengan nilai miliaran rupiah. Kepemilikan rekening
jumbo tersebut dinilai tidak wajar.
tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar